Murabahah (Jual Beli) Emas dengan “Kredit” Di Bank Syariah … ?

 

 

Pada Kamis 18/10/2012 PT. Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN) melalui unit usahanya Danamon Syariah mengeluarkan produk terbaru solusi emas murni syariah dengan akad Murabahah (jual beli).

Direktur Danamon Syariah Herry Hykmanto menyatakan solusi emas murni Danamon Syariah ini dengan akad Murabahah akan berkontribusi senilai Rp. 150 miliar. “Pembiayaan kepemilikan emas syariah berkontribusi 25% terhadap total pembiayaan syariah sebesar Rp. 1,6 triliun hingga akhir tahun,”.

 

Produk solusi emas murni syariah murabahah dijual dalam 3 bentuk yakni logam mulia Antam atau non Antam, perhiasan, dan koin emas. M. Budi Utomo, Solusi Emas Syariah Business Head Danamon Syariah menambahkan, untuk jenis perhiasan seperti cincin, gelang atau kalung, yang diberikan pembiayaan yang memiliki kadar emas minimal 18 Karat.

Herry Hykmanto mengaku bahwa produk solusi emas ini telah memenuhi ketentuan peraturan Bank Indonesia. Adapun peraturan BI tersebut antara lain :

  1. Uang muka akad emas syariah yakni 25% untuk logam mulia dan 30% untuk perhiasan.
  2. Waktu pelunasan akad minimal 2 tahun dan maksimal 5 tahun, dan
  3. Besaran pembelian produk emas syariah murabahah ini maksimal Rp.150 juta per nasabah.

——————————————————————————————————————————————————
Ini kabar baru, tentang kepemilikan emas melalui produk bank syariah, setelah aturan gadai emas ditertibkan oleh BI melalui Surat Edaran (SE) Bank Indonesia No.14/7/DPbS perihal Produk Qardh Beragun Emas bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah sekarang muncul murabahah emas. Setelah membaca tiga media online yang memberitakan Murabahah emas bank danamon syariah tersebut, saya bergegas mencari fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI mengenai fatwa Murabahah (jual beli) emas secara kredit, kenapa…? karena kalau beli emas melalui jasa bank pastinya kredit dan sepengetahuan saya jual beli kredit emas ini termasuk dalam transaksi riba nasi`ah. Riba nasi`ah itu jual beli dua jenis barang ribawi yang sama dalam ‘illat dengan tidak secara kontan (kredit). Sementara uang dan emas termasuk barang ribawiah dengan illat yang sama yaitu sama-sama mempunyai nilai tukar..dan setahu saya ini juga pendapat jumhur ulama…!

Setelah mengobok-obok arsip yang ada, saya dapati DSN sudah memfatwakan bahwa murabahah (jual-beli) emas secara kredit tersebut jaiz/boleh, dengan FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL Nomor: 77/DSN-MUI/V/2010 Tentang JUAL-BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI.

Karena dipenuhi rasa heran dan tidak puas, saya coba search digoogle, dengan alasan apa DSN membolehkan jual beli emas secara cicil tersebut, dan akhirnya saya temukan alasannya beserta komentar yang sangat-sangat kritis oleh seorang blogger mengenai proses difatwakannya Murabahah emas secara tidak tunai tersebut… Karena terlalu panjang untuk dikutip disini, silahkan saja langsung ke TKP, ini link nya Mau Dibawa Kemana Fatwa DSN No. 77 tahun 2010 (agak melenceng dikit dari judul asli :) ).

Okay, sementara link yang dibuka masih loading, sedikit saya kutipkan tulisan oleh Johan Lukman di kompasiana dengan judul Bolehkah Kita Mencicil Emas dan Dinar?
Bantahan terhadap fatwa DSN :

  1. Emas walaupun pada saat ini bukanlah sebagai alat tukar/ mata uang tapi sejatinya emas dan dinar adalah barang yang memiliki kekuatan membeli (purchasing power) . Emas adalah universal trandabel goods artinya dibanding dengan uang kertas rupiah, maka emas dimanapun masih bisa diterima dengan baik dibanding rupiah. Ketika anda berada di negara bekas Sovyet, anda membeli barang sedangkan di tangan anda hanya ada rupiah dan emas, maka dipastikan penjual akan memilih menerima emas dibanding rupiah.
  2. Emas diciptakan bukan karena dimanfaatkan wujudnya. Anda membeli beras maka anda akan membeli beras tersebut untuk anda manfaatkan sebagai makanan, begitu juga kurma, garam, anggur. Berbeda dengan emas dan perak yang diciptakan sebagai alat ukur kekayaan dan sebagai alat tukar karena keunikan yang dimilikinya.
  3. Pendapat Ibnu Taimiyah tidak bisa dijadikan acuan dalam pengambilan hukum atas bolehnya murabahah emas, karena apa yg difatwakan beliau adalah pada konteks membeli perhiasan dari emas. Sedangkan emas batangan dan dinar disini bukanlah perhiasan kecuali ada di antara anda yg menggunakan dinar dan emas batangan sebagai perhiasan baik berupa cincin, kalung dan anting. Fatwa Syaikh Ibnu Taimiyah ini yang sering disalahgunakan sebagai pakar syariah sebagai alasan diperbolehkan murabahah/ kredit emas dan penukaran barang ribawi yg tidak setara. Konsekuensinya menuduh Syaikh Ibnu Taimiyah memperbolehkan adanya riba fadhl. Suatu tuduhan yg serampangan ini saya temukan pada twitter penulis buku ekonomi syariah.

Alhamdulillah, saya anggap dua artikel yang saya rekomendasikan diatas mewakili pendapat saya dan untuk anda para pembaca demi memantapkan keyakinan atas status hukum mengenai jual beli emas secara kredit tersebut diatas saya juga merekomendasikan anda membaca 20 Kaidah Memahami Riba

Semoga bermanfaat  … Stop Riba … !

Orang Yang Pantas Dicemburui

Hukum asalnya, sifat iri dan cemburu terhadap kelebihan orang lain dalam Islam tidak diperbolehkan. Karena sifat ini mengandung prasangka buruk kepada Allah dan tidak ridha dengan pembagian yang Allah berikan kepada makhluk-Nya. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengecualikan beberapa orang yang boleh dan pantas untuk dicemburui karena kelebihan besar yang mereka miliki. Siapakah mereka? Temukan jawabannya dalam hadits berikut ini,Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ القُرْآنَ، فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ، وَآنَاءَ النَّهَارِ، فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ، فَقَالَ: لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلاَنٌ، فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الحَقِّ، فَقَالَ رَجُلٌ: لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلاَنٌ، فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ

Tidak ada (sifat) iri (yang terpuji) kecuali pada dua orang: seorang yang dipahamkan oleh Allah tentang al-Qur-an kemudian dia membacanya di waktu malam dan siang hari, lalu salah seorang tetangganya mendengarkan (bacaan al-Qur-an)nya dan berkata: “Duhai kiranya aku diberi (pemahaman al-Qur-an) seperti yang diberikan kepada si Fulan, sehingga aku bisa mengamalkan seperti (membaca al-Qur-an) seperti yang diamalkannya. Dan seorang yang dilimpahkan oleh Allah baginya harta (yang berlimpah) kemudian dia membelanjakannya di (jalan) yang benar, lalu ada orang lain yang berkata: “Duhai kiranya aku diberi (kelebihan harta) seperti yang diberikan kepada si Fulan, sehingga aku bisa mengamalkan (bersedekah di jalan Allah) seperti yang diamalkannya” (HR. Al-Bukhari). Continue reading

Kebiasaan Serampangan Menukil Berita: Fenomena Berita “Deportasi Orang Ganteng Di Saudi”

Beberapa waktu lalu tanah air kita dihebohkan dengan berita bahwa “negara Saudi mendeportasi/mengusir orang hanya karena wajahnya yang ganteng”. Kemudian berita ini dengan cepat menyebar di tanah air dengan berbagia media. Dan parahnya yang membaca berita menelan bulat-bulat berita tersebut dan memunculkan stigma negatif terhadap negara Saudi. Kita ketahui bersama bahwa negara Saudi masih indentik dengan ajaran Islam, pusat agama dan kebudayaan Islam di mata orang kafir dan orang Islam yang awam. Sehingga munculah celaan dan makian atau sindiran pedas terhadap negara saudi bahkan bisa jadi celaan ini mengarah ke agama Islam. Dan ironisnya ini dilakukan oleh kebanyakan orang Islam. Continue reading

Jangan Nodai Ibadah Anda Dengan Niat Duniawi

Berbicara tentang niat yang ikhlas berarti membahas suatu amalan hati yang paling berat untuk dilakukan seorang manusia, karena besarnya dominasi ambisi nafsu manusia yang sangat bertentangan dengan keikhlasan dalam niat, kecuali bagi orang-orang beriman yang diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala dalam semua kebaikan.

Imam Sahl bin Abdullah at-Tustari berkata: “Tidak ada sesuatupun yang paling berat bagi nafsu manusia melebihi keikhlasan karena pada keikhlasan tidak ada bagian untuk nafsu”1.

Semakna dengan ucapan di atas, Imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri berkata: “Tidaklah aku berusaha memperbaiki sesuatu (dalam diriku) yang lebih sulit bagiku daripada (memperbaiki) niatku (supaya ikhlas)”2.

Imam Ibnul Qayyim menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau: “Adapun kesyirikan (penyimpangan) dalam niat dan keinginan (manusia) maka itu (ibaratnya seperti) lautan (luas) yang tidak bertepi dan sangat sedikit orang yang selamat dari penyimpangan tersebut. Maka barangsiapa yang menginginkan dengan amal kebaikannya selain wajah Allah, meniatkan sesuatu selain untuk mendekatkan diri kepada-Nya, atau selain mencari pahala dari-Nya maka sungguh dia telah berbuat syirik dalam niat dan keinginannya. Ikhlas adalah dengan seorang hamba mengikhlaskan untuk Allah (semata) semua ucapan, perbuatan, keinginan dan niatnya”3. Continue reading

Fenomena kematian mendadak

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah

Soal:

Apakah fenomena kematian yang mendadak itu merupakan pertanda kiamat? Apakah ada amalan tertentu agar bisa terhindar darinya? Apakah dengan memohon perlindungan dari hal itu sudah cukup untuk terhindar darinya?

Jawab:

Dikabarkan dalam banyak hadits yang menunjukkan bahwa fenomena kematian mendadak akan banyak terjadi di akhir zaman. Dan itu kematian yang dibenci oleh orang fajir dan disenangi orang mu’min.

Terkadang orang mu’min mati secara mendadak dengan cara diam tiba-tiba atau cara lain dan itu merupakan yang menggembirakan dan nikmat baginya karena ia telah bersiap diri dan berusaha beristiqamah untuk menghadapi maut Continue reading

Fatwa Ulama: Bagaimana Duduknya Makmum Masbuk Ketika Imam Tasyahud Akhir?

Fatwa Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al ‘Aqil

Soal:

Bagaimana pendapat kalian –semoga Allah memberikan ganjaran kepada kalian-, tentang seorang makmum yang hendak shalat maghrib bersama imam, ia telah tertinggal 1 raka’at. Apakah jika imam duduk tawarruk pada tasyahud akhir, makmum mengikuti duduk sang imam dalam keadaan tawarruk, ataukahiftirasy? karena duduk tasyahud akhirnya imam adalah tasyahud awal bagi si makmum.

Jawab:

Yang ditegaskan oleh para ulama fikih kita, jika seorang makmum shalat bersama imam yang jumlah raka’atnya 4 atau 3, imam telah mendahuluinya dalam sebagian raka’at, maka makmum duduk tasyahud akhir bersama imam dalam keadaan tawarruk, bukan iftirasy. Alasan mengikuti imam dalam rangka menjaga agar tidak terjadi perselisihan, berdasarkan hadits,

إنما جعل الإمام ليؤتم به، فلا تختلفوا عليه

Imam itu diangkat untuk ditaati, maka janganlah kalian menyelisihinya1 Continue reading

Keutamaan Mencari Nafkah Halal dan Tidak Menjadi Beban Orang Lain

Dikeluarkan Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya,

عَنِ الْمِقْدَامِ رَضِي اللَّهم عَنْه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ)) رواه البخاري.

Dari al-Miqdam Radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang (hamba) memakan makanan yang lebih baik dari hasil usaha tangannya (sendiri), dan sungguh Nabi Dawud ‘alaihissalam makan dari hasil usaha tangannya (sendiri)1.

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan bekerja mencari nafkah yang halal dan berusaha memenuhi kebutuhan diri dan keluarga dengan usaha sendiri. Bahkan ini termasuk sifat-sifat yang dimiliki oleh para Nabi‘alaihimussalam dan orang-orang yang shaleh. Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Nabi Zakariya ‘alaihissalam adalah seorang tukang kayu2.

Dalam biografi imam besar Ahlus sunnah dari generasi Tabi’ut tabi’in, imam Abdullah bin Al-Mubarak engkau mengekspor barang-barang dagangan dari negeri Khurasan ke Tanah Haram/Mekkah (untuk dijual), bagaimana ini?”. Maka Abdullah bin Al-Mubarak menjawab: “Sesungguhnya aku melakukan (semua) itu hanya untuk menjaga mukaku (dari kehinaan meminta-minta), memuliakan kehormatanku (agar tidak menjadi beban bagi orang lain), dan menggunakannya untuk membantuku dalam ketaatan kepada Allah”. Lalu Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Wahai Abdullah bin Al-Mubarak, alangkah mulianya tujuanmu itu jika semuanya benar-benar terbukti”3. Continue reading

Fatwa Ulama: Jika Tidak Punya Syaikh, Maka Syaikhnya Adalah Setan?

Fatwa Syaikh Abdul Aziz Bin Baaz

Soal:

Tersebar di sebagian kalangan sebuah perkataan: “barangsiapa yang tidak punya syaikh (guru) maka syaikh-nya adalah setan“. Bagaimana kita menyikapi perkataan ini wahai Syaikh?

Jawab:

Ini adalah kesalahan yang dilakukan orang awam dan orang jahil dari kalangan sufiyah. Tujuan mereka mengatakan demikian adalah untuk memotivasi orang untuk bergabung bersama mereka dan taqlid kepada mereka dalam kebid’ahan dan kesesatan yang mereka lakukan. Jika seseorang berusaha mempelajari agama dengan hadir di majelis-majelis ilmu agama atau dengan men-tadabburi Al Qur’an dan Sunnah atau menggali faidah dari Al Qur’an dan Sunnah, maka orang seperti ini tidak dikatakan bahwa gurunya adalah setan. Justru kita katakan bahwa ini adalah orang yang berusaha mempelajari agama dan ia mendapatkan kebaikan yang banyak. Continue reading

Hadits Dhaif Tentang Keutamaan Bersedekah Untuk Menyembuhkan Penyakit

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:داووا مرضاكم بالصدقة، وحصنوا أموالكم بالزكاة، فإنها تدفع عنكم الأعراض والأمراض“Sembuhkanlah orang-orang yang sakit di antara kamu dengan bersedekah, dan bentengilah hartamu dengan (mengeluarkan) zakat, karena sesungguhnya hal itu akan mencegah berbagai keburukan dan penyakit”.Hadits ini dikeluarkan oleh Imam ad-Dailami dalam “Musnadul Firdaus”1 dengan sanad beliau dari jalur Muhammad bin Yunus al-Kudaimi, dari Badal bin al-Muhabbar, dari Hilal bin Malik al-Huwa-i, dari Yunus bin ‘Ubaid, dari Hurr bin ash-Shayyah, dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu’anhu, dari RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam.

Hadits ini adalah hadits palsu atau minimal sangat lemah, dalam sanadnya ada rawi yang bernama Muhammad bin Yunus al-Kudaimi, dia tertuduh memalsukan hadits.

  • Imam Abu Bakr bin Wahb at-Tammar berkata: “Abu Dawud tidak menampakkan (tuduhan) dusta terhadap seseorang kecuali terhadap al-Kudaimi dan Ghulam khalil”2.
  • Imam Ibnu ‘Adi berkata: “Dia tertuduh memalsukan dan mencuri hadits, mengaku bertemu orang-orang (para rawi hadits) padahal dia tidak pernah bertemu mereka, serta mengaku meriwayatkan (hadits) dari mereka padahal mereka tidak mengenalnya. Mayoritas guru-guru kami meninggalkan riwayat (hadits) darinya”3.
  • Imam Ibnu Hibban berkata: “Dia memalsukan hadits atas (nama) rawi-rawi hadits yang terpercaya secara jelas, dan barangkali dia telah memalsukan lebih dari seribu hadits”4.
  • Imam ad-Daraquthni berkata: “Dia tertuduh memalsukan hadits”5. Continue reading